Sebuah Jalan

Oleh : Riska Diana

Jalanan sepi dan basah, kawan. Tetapi, lampu-lampu jalanan kiranya masih menyala kala itu, sehingga paras pucat perempuan itu sempat tertangkap meski tidak terlalu jelas lantaran cahaya lampu terhalang ranting akasia. Hujan sudah selesai, tetapi udara tentu saja sangat dingin. Tanpa hujan pun udara malam tetap dingin, bukan? Maafkan kalau aku kelihatan sok tahu, kawan. Kau tentu tak setuju dengan ungkapan atau perumpamaan yang ku buat dalam menceritakan semua ini.
Ia meletakan bokongnya dibangku halte dengan cemas yang deras menggerayangi perasaannya. Jemari tangannya yang lentik terawat meremas-remas sapu tangan basah yang digunakan untuk menyeka wajah dan rambutnya. Sebuah tas kecil yang terbuat dari kulit berwarna coklat talinya masih menyangkol di bahu, di kepit ketiaknya. Koper hitam didekap kedua lututnya yang gemetar. Cahaya temaram menyembunyikan tubuhnya yanf menggigil dibungkus jaket dan kaus hitam ketat. Kecemasan makin deras, sukar dibendung.  Ia sering mengalami kecemasan. Tapi kali ini baru dialami sepanjang hidupnya.
Ia urang membakar sisa sisa rokok yang tinggal sebatang-batangnya.dimasukan kembali rokok itu kedalam saku jaket. Taksi yang diharapkan lewat dan membawanya pergi dari tempat itu tak juga muncul.udara dingin terasa semakin mengisap tenaga dan denyut nadinya serupa terik matahari menghisap embun di pagi hari.ia meraba dadanya,seakan mengukur kemampuannya bertahan.
Di langit bulan direnggut lapisan awan tebal.sisa hujan menggenang di jalan berlubang,sesekali berkilau tersiram cahaya lampu.tak ada suara angina tau gonggongan anjing.hanya sesekali,lamat,suara kersik daun kering yang putus dari tangkainya melayang tenang sebelum hinggap di badan jalan yang betul-betul lengang seperti kuburan.
Ia mengutuk peristiwa demi peristiwa yang dialaminya.bukan hanya rentetan peristiwa yang beberapa jam lalu dilewatinya.melainkan terutama peristiwa yang dialami masa kanak dan remajanya yang singkat dan muram.ia meremas sapu tangan seakan meremas kecemasan yang terus menjalar dan menggerogoti lapis demi lapis ketegaran yang sekian lama dipupuknya.dengan ragu-ragu di rogohnya saku jaket,mancari-cari rokok yang tadi tak jadi disulut.ujung jarinya menyentuh tembakau yang terburai dari kertasnya yang koyak disulut.ujung jemarinya menyentuh tembakau yang terburai dari kertasnya yang koyak karena gesekan dan saku jaket yang lembab.
Dibakarnya batang rokok yang koyak separuh,lantas disedotnya setengah hati.ia membuang ludah yang terasa pahit di lidahnya.tenggorokan bagai terbakar,panas dan perih.di telinganya suara nyamuk berdenging,menggigit kulitnya yang halus dan masih menyisakan harum.tak ada kunang-kunang,membuat malam sungguh-sungguh kelam.
Pandangannya terus menyolot ke kanan sampai leher pegal.arah diama dirinya muncul tersaruk meneret kopor.ketegangan menyerang tubuhnya.ia merasakan urat-urat lehernya menegangkan dan kaku.taksi yang di tunggunya tak pernah muncul.jalan itu memang tak dilintasi taksi apalagi di malam sepi dan dingin sehabis hujan seperti itu.ia lupa,bahkan ojek pun tak berani melintas disana.baru kali ini ia linglung kehilangan akal apa yang harus diperbuatnya.
Ia mengetatkan dan menaikan kerah jaketnya mencoba menghalau dingin.tapi dingain tak bisa di halau,ia telah bersekutu dengan malam dan sepi,mengundang kenangan yang berdiam dalam keingatannya.ia serasa mendengar umpatan papa.mendengar jeritan mama dan indra,kakak sulungnya.mereka berkelabatan mengurung matanya ke mana pun di bentukan.ia tidak pernah menemukan tempat yang benar-benar mampu menjauhkan ingatannya dari mereka dan seluruh peristiwa yang membuatnya membenci mereka.mama dan papa seingatnya jarang bertemu kecuali untuk saling menumpahkan caci maki. tak pernah dilihatnya mereka duduk bersama,bercengkerama,apalagi secara mesra mengulurkan tangan untuk di cium saat dirinya barangkat sekolah.
Ia dapat mendengar dengan jelas suara tangan papa menggampar pipi mama.disertai bentakan,lantas lengkingnya mama yang membuatnya terhenyak malam-malam.disusul denting gelas dan cangkir berterbangan menghantam dinding.kakak indra tak pernah pulang kecuali dengan keadaan mabuk dan dipeluk seorang perempuan seusia mama.mereka berdekapan sepanjang malam dengan pakaian separuh tanggal sambil mendesiskan suara-suara yang membuatnya mau muntah.ia sendiri menggigil di balik pintu kmarnya.adiknya,riko,yang menderita autis pulas dalam pelukan tante noah di kamar.
Ia tahu,rikolah yang menjadi pangkal pertengkaran mereka.papa menuduh riko hasil perselingkuhan mama dengan pemuda-pemuda yang suka nongkrong di mall;bukan anak dari benihnya.sebaiknya,mama yakin papa sering keluyuran malam dan bergonta-ganti pasangan yang menyebabkan riko terlahir cacat.
Batang rokok terakhir sudah habis.kuntungnya yang masih mengepulkan asap tanpa sadar diremesnya.saat ia menjerit dan terperanjat karena panas.perlahan udara bergerak dari arah selatan tanpa suara.wajahnya menegang lagi seperti anak-anak yang menariknya.suasana makin hening.gemeretak giginya terdengar nyaring.ia melepas tas dari pundaknya kemudian di peluknya.meletakkan pipi diatasnya.
Seperta yang dilakukannya saat hatinya tiba-tiba perih direnggut rindu pada mama.
”kamu kenapa,revi?” Tanya teman laki-lakinya melihat ia murung.
 ”tidak apa-apa,roni,”jawabnya seraya menatap mata laki-laki itu.”kamu masih tak mempercayai aku?hmmmmm.”
 “tidak.kamu jangan sentimenti,roni.”
Mereka sudah cukup lama berhubungan.ia tidak pernah mencintai seseorang seperti ia mencintai laki-laki itu.laki-laki yang mula-mula menyerahkan penanganan urusan rambutnya.laki-laki itu ketagihan pijatannya yang enak.pelayanannya yang serba lembut dan menyentuh membuatnya berlangganan setiap pekan.tentu tidak terbatas pada urusan rambut,melainkan juga perawatan kulit dan wajah.pria metroseksual,kata orang-orang.ia suka menatap lekat-lekat rahangnya yang kukuh,dagunya yang selalu kebiruan.ia terpesonan pada gaya bicara dan terutama suaranya yang basah dan terdengar mendesah.maka usai dengan urusan rambut,basahnya laki-laki itu berlama-lama duduk disana sampai malam larut oleh embun,mengobrolkan entah apa dengannya.
“kenapa kamu memilih hidup seperti ini?”demikian laki-laki itu pernah bertanya.
“kenapa?”perempuan itu balik bertanya.
“pengen dengar ceritanya.”
“buat apa?”
“namamu bagus.”
“ahhhh.”
Bukan nama pemberian orang tuamu,kukira.”
            Obrolan-obrolan serupa berlanjut terus setiap laki-laki itu dating.berceritalah dia tentang kebenciannya pada mama,papa,dan kak indra,juga rasa iba terkira pada kondisi riko. Tetapi terutama pada peristiwa demi peristiwa yang membuatnya membenci mereka semua.
“itu yang yang membuat kamu begini?”
Perempuan itu tak menjawab.ia teringat pada keputusan besarnya : mengkastrasi kelaminnya,mengubah menjadi vagina.ia yakin benar kekeliruan itu harus diluruskan,bukan karena kebenciannya kepada papa,mama dan kak indra yang entah sudah mati atau masih gentayangan entah dimana.
“Apakah salah.”
Laki-laki itu tidak menjawab. Ia sendiri tidak memerlukan jawaban sebagaimana Ia juga tidak perlu tahu sesungguhkah Satria mencintainya?. Disimpan saja keraguannya itu. Ia berharap Satria sungguh-sungguh.
“aku laki-laki, bukankah kamu perempuan?” ujar laki-laki itu seakan mengerti perasaannya.
“Hmmm, aku gembira. Tapi tidakkah ini….”
            Ia menepuk-nepuk telapak tangannya, membersihkan debu kuntung rokok. Menelan ludahnya yang panas bagai lahar membakar lidah dan tenggorokan. Langit makin peka. Selembar daun akasia tepat dipangkuannya. Seekor kucing tiba-tiba mendekat dan menyentuh tubuh ke kakinya. Dilangit lapisan awal tebal tak menyaksikan kerlip gemintak. Kenangan pelariannya dari rumah dengan mencuri semua perhiasan mama mendadak membayang lebih jelas. Seperti baru kemarin Ia meninggalkan rumah yang dikutuknya bagai kampung penyiksaan bagi jiwanya.
            Dengan percaya diri ia menjual semua perhiasan mama untuk menyewa ruko dan memulai usaha membuka salon. Ia adalah seseorang yang ulet, terbukti salon yang dikelolanya tak pernah sepi pelanggan. Dia tidak perlu menjadi pengamen atau berdiri malam-malam diperempatan jalan menunggu mangsa; seperti kebanyakan kawan-kawannya.
            Rupanya mama masih hidup, ia mendengar kabar mama masuk rumah sakit. Perempuan itu tak mengenalinya ketika ia menjenguknya di rumah sakit. Wajah mama begitu pucat dan renta.
“Siapa kamu ?” Tanya tante titi yang menjaga mama. Ia tak perlu menjelaskan dirinya. Ia hanya berkata supaya mama dijaga, lantas pergi meninggalkan sekeranjang bunga dan buah-buahan. Sayup-sayup ia mendengar teriakan tante titi memanggilnya, “Rava, Rava …” sesungguhnya ia ingin menghentikan langkah dan berbalik menemui mereka. Tapi keberaniannya tiba-tiba menguap entah kemana.
            Ia menelan ludah. Lamat di dengarnya suara gerobak bakso yang didorong tergesa. Ia menggeser duduknya, mengangkat wajah melihat tukang bakso semakin mendekat, dan bertahun-tahun ia tak pernah pulang. Berusaha melupakan mama, papa, kak indra, riko dan semua impitan peristiwa masa kanaknya. Namun sering gagal. Semuanya selalu menguntit ingatannya. Setahun setelah peristwa dirumah sakit, ia mendengar kabar mama meninggal. Kak indra mengalami stress berkepanjangan, dan riko di buang tante titi ke rumah panti anak cacat. Papa entah kemana.
            Ia memejamkan matanya, berusaha membebaskan diri impitan ingatannya. Tetapi peristiwa lian yang menyeretnya ke tempat ini menyerbu kepalanya. Ia mendengar kabar perselingkuhan Satria dengan penari Bar. Santi, karyawan setianya yang mengatakan kabar itu. Ia mendatangi tempat mereka kencan. Setelah berdebat cukup alot, dengan berbelit resepsionis hotel itu memberi tahu nomor mereka. Perasaannya berdebar kencang saat memijit tombol lif.
            Dikamar yang dituju ia hanya mendapat seorang perempuan. Beberapa lama terjadi perang mulut. Ia sempat menampar perempuan itu. Ia ingin menuntaskan kegeramannya dengan melempar perempuan itu melalui jendela. Tapi itu tak dilakukannya, ia masih bisa menahan diri. Sebelum membanting pintu, ia mengakhiri pertengkaran dengan meletakan mata belati yang berkilat didada perempuan itu sambil membisikan ancaman, “lupakan Satria, atau ujung belati ini merobek jantung mu.”
            Ia melangkah pelan menyusuri karpet lorong hetel,berusaha tidak menimbulkan suara. Tiba di salonnya, ia melihat satria sudah berdiri di sana sambil berkacak pinggang. “mulai mala mini,jangan campuri urusanku,waria haram jada!”.
            Peristiwa berikutnya berlangsung begitu cepat.ia menyeret laki-laki itu ke kamar,lalu di bantingnya disana. Laki-laki itu dengan cepat bangkit menjambak rambutnya,mencekiknya,menampar pipinya sangat keras,sampai bibirnya pecah. Ia limbung beberapa saat,kemudian meraih gunting di meja hias dan menusukannya berkali-kali ke dada laki-laki itu. Setelah menyeka muncratan darah dimukanya, ia meraih pedang panjang yang selam ini menjadi hiasan didinding. Dengan kalap memotong-motong mayat lelaki iotu menjadi beberapa bagian.
            Malam sudah melewati separuh perjalannya. Perempuan itu masih duduk di bangku halte. Mengutuk perasaannya sendiri yang begitu sentimental. Kini ia teringat santi ia meminta tidak mengikuti dirinya. “pergilah, santi, jangan ikuti aku, bawalah uang ini untuk bekal ! Pergilah sejauh-jauhnya dari kota ini. Semoga semuanya akan menjadi baik-baik saja. Biar aku pergi menyusuri jalan ini sendiri. Sebab aku belum tahu tempat mana yang akan aku tuju.”
Hatinya bagai teriris saat melihat karyawan setianya itu pergi membawa tangisnya yang mencengkram. Hujan turun lagi. Tiba-tiba ia merasa dirinya tua, lelah dan teraniaya. Kepalanya tak kuat lagi disesahi peristiwa demi peristiwa penuh kepalsuan. Tak sanggup lagi membayangkan keluarga bahagia. Menata rambut para pelanggannya yang setia. Hidupnya terlalu sesak dengan keperihan, tak ada tempat bahkan untuk kisah cinta yang paling iseng dan sederhana. Maka tak ada lagi alas an untuk pergi dari situ. Begitu ia akhirnya memutuskan. Biarlah besok sekawanan polisi menggirinya ke penjara.
***

Komentar