Andai Tuhan Tidak Meninggalkan Ku
Andai Tuhan Tidak Meninggalkan Ku
Oleh : Nana Firmansyah
Malam semakin larut, suara keributan pun mulai tak terdengar lagi, kini yang ada hanyalah suara bising binatang malam. Angin malam pun mulai merasuki tubuh ku ini, sehingga aku terbangun dalam tidurku, sebenarnya aku tak ingin terbangun, tapi mau bagaimana lagi, keadaan sudah tidak mendukung untuk melanjutkan tidurku ini, akhirnya aku beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Disana aku mengambil air wudhu dan segera pergi ke mushola kecil yang berada di sebelah gubuk dimana aku tinggal. Di mushola itu aku mengadu segala masalah yang membebani hidup ini kepada sang pencipta alam ini, yang kalian sering sebut dia Tuhan.
Tidak terasa suara ayam jago pun mulai berkokok, diikuti dengan kumandang adzan subuh. Aku beranjak dari tempat tidurku lagi, perasaan baru sekejap mata ini tertidur, tapi bagaimana pun juga aku harus segera pergi ke mushola untuk melaksanakan kewajiban sebagai makhluk-Nya. Setelah selesai solat subuh, aku siap-siap untuk pergi bekerja. Ya, aku memang beda dengan anak seumuran ku yang lain, dimana ketika mereka sekolah, aku harus pergi keliling kota untuk mencari sesuap nasi demi melangsungkan hidup ini. Aku tidak tahu dimana orang tua ku sekarang, sejak kecil aku tinggal bersama nenek ku yang mulai sakit-sakitan. Setelah semuanya siap aku pergi keliling kota sambil mendorong gerobak kecil. Aku berhenti disebuah kantor yang tingginya hingga mencapai langit, dimana disitu banyak orang yang sibuk, sampai-sampai mereka tidak sempat menyemir sepatunya. Tapi, itu merupakan rezeki buat aku sebagai penyemir sepatu.
Satu jam aku menunggu didepan kantor itu, tapi belum ada satu orang pun yang mau menyemir sepatunya. Akhirnya aku tertidur, tiba-tiba ada laki-laki setengah baya membangunkan aku, “De, de, bisa semirkan sepatu saya?” aku terkaget lalu terbangun, “Iya pak ada apa ?” “Bisa semirkan sepatu saya?” sahut laki-laki itu mengulang lagi perkataannya. “Oh, tentu pak !” laki-laki itu membuka sepatunya dan menyimpan disebelah aku. “Ini pak kursi dan korannya supaya tidak bosan menuggunya” sahut saya sambil menyodorkan kursi yang terbuat dari kayu dan koran edisi hari ini, “Oh, ya terima kasih de” sahut laki-laki itu. Aku pun mulai menyemir sepatu laki-laki itu. Sepertinya laki-laki itu direktur perusahaan ini, terlihat dari sepatunya saja yang bermerk. “Apakah aku bisa seperti laki-laki itu? Bisa sesukses dan sekaya dia? Aku pikir itu mustahil, karena aku hanyalah seorang penyemir sepatu yang tak punya apa-apa. Tuhan mengapa kau ciptakan aku, jikalau memang aku ditakdirkan hidup seperti ini?” Aku pun mulai menyalahkan Tuhan yang menciptakan diri ini. “De, sudah selesai sepatunya?” sahut laki-laki itu, aku terkejut “Sudah pak !” kemudian laki-laki itu memakai kembali sepatunya dan menyodorkan selambar uang yang bernilai Rp. 20.000 dan langsung berlari masuk kekantornya. Aku pun menyusulnya karena uang itu kelebihan dari tarif semir sepatu. “Pak ini kembaliannya !” kataku dengan nafas yang tidak teratur. “Ambil saja, aku tidak butuh uang recehan !” sahut laki-laki itu sambil berlari menaiki tangga menuju ruangannya. Aku pun keluar kantor itu, lalu duduk menunggu orang yang mau menyemir sepatunya lagi. Dua jam sudah aku menunggu, tapi tak ada satu orang pun yang datang untuk menyemir sepatunya. Aku putuskan untuk pergi dari tempat ini, mungkin tidak akan ada orang lagi yang akan menyemir sepatunya ditempat ini karena matahari sudah berada atas kepala. Aku terus menelusuri jalan, aku tak tahu harus pergi kemana lagi untuk mencari orang yang mau menyemir sepatunya, aku pun berteduh dibawah pohon yang sangat besar, yang bisa membuat badan ini terasa sejuk. Tiba-tiba aku mendengar kumandang adzan dari sebuah mesjid, aku mencari sumber kumandang adzan itu, ternyata tak jauh dari pohon yang aku diami. Aku segera bergegas pergi ke mesjid itu untuk melaksanakan kewajibanku. Ketika aku akan memasuki mesjid, tiba-tiba ada orang yang memanggilku “De, tunggu sebentar !” aku pun menoleh ke suara yang memanggilku “Iya kak, ada yang bisa saya bantu?” “Tolong semirkan sepatu saya, tapi jangan pake lama ya de, soalnya saya lagi buru-buru” kata laki-laki yang usianya kira-kira 20 tahunan itu, “Iya, kak !” sahut saya sambil mengambil sepatu laki-laki itu. Aku pun menyemir sepatu itu dengan cepat, tapi tidak asal semir, tetap saja hasilnya rapi. Lima menit kemudian kedua sepatu itu sudah selesai aku semir, lalu aku kembalikan kepada laki-laki itu “Ini, kak sepatunya sudah selesai !” “Oh, terima kasih de !” kata laki-laki itu sambil menyodorkan uang lembaran senilai Rp. 5.000., “Terima kasih banyak, kak tidak mampir ke mesjid dulu?” kata ku sambil mengambil uang dari laki-laki itu. “Buat apa ?” sahut laki-laki itu, “Ya sholatlah kak !” kata ku, “Hah, solat ? ngapain solat ? hanya buang-buang waktu saja, saya ini sibuk jadi gak ada waktu buat solat, toh saya gak solat juga saya hidup senang?” sahut laki-laki itu dengar nada menentang. Kemudian laki-laki itu pergi, dan aku pun pergi ke mesjid itu untuk solat dzuhur, sepertinya aku sudah ketinggalan solat berjamaah gara-gara menyemir tadi. Aku pun mengambil air wudhu kemudian masuk kedalam mesjid lalu solat sendirian. Setelah selesai solat, aku seperti biasanya mengadu segala masalah yang menimpa hidup ini ke sang pencipta. “Ya Tuhan, apa salah dan dosaku Ya Tuhan? Aku selama ini selalu memuja-Mu, selalu membanggakan-Mu, selalu meminta pertolongan-Mu, tapi apa balasan dari-Mu Tuhan? Apa engkau tak mendengar semua keluhan ku? Kemana saja kau selama ini Tuhan? Apakah kau tidak ada? Mengapa orang yang tak pernah memuja-Mu kau berikan mereka hidup senang, hidup dengan bergelimpangan harta? Tapi diri ini Tuhan?” Aku pun menangis sambil merenungi kata-kataku tadi. Aku lihat ke sekelilingku, tidak ada satu orang pun yang ada didalam mesjid ini. Kemudian aku lihat jendela, ternyata diluar langit mulai gelap, suara petir pun mulai menyambar-nyambar. Tak lama kemudian hujan turun dengan derasnya, aku pun tertidur dipojok mesjid dengan diselimuti sarung yang ada dimesjid itu. Tiba-tiba ada orang yang membangunkan ku, kemudian aku bangun dan melirik sebuah jam besar yang menmpel didinding mesjid itu, ternyata sekarang waktunya solat ashar, tapi aku tadi tak mendengar kumandang adzan, mungkin aku tidur terlalu lelap. Aku segera bergegas ketempat wudhu, kali ini bukan untuk mengambil air wudhu, tapi untuk sekedar mencuci muka saja, setelah itu aku pergi meninggalkan mesjid itu tanpa melaksanakan solat ashar terlebih dahulu. ketika di gerbang mesjid, tiba-tiba ada orang yang memanggilku lagi, sepertinya suara itu tidak asing lagi, lalu aku menoleh ke belakang, dan memang benar ternyata yang memanggil ku itu adalah laki-laki yang tadi menyemir sepatunya sebelum aku solat dzuhur. “De, baru selesei solatnya? Sudah dapat berapa juta ?” kata laki-laki itu, aku pun hanya bisa tersenyum “Haha, saya aja udah dapet Rp. 10.000.000 coba saya tadi solat, mungkin saya gak akan dapet uang sebanyak ini” kata laki-laki itu lagi dengan nada yang angkuh. Aku tak bisa berkata apa-apa, hanya senyuman yang kulontarkan kepada laki-laki itu. “Ini sedikit uang untuk kamu, semoga bisa membantu membeli kebutuhanmu” sahut laki-laki itu sambil menyodorkan uang selembar yang bernilai Rp. 100.000. Aku pun mengambilnya, mungkin uang itu dapat membantu untuk membeli obat nenek, “Terima kasih kak” “Sama-sama, saya pergi dulu ya? Masih banyak urusan yang harus saya selesaikan” sahut laki-laki itu sambil pergi begitu saja. Aku pun melanjutkan perjalananku, aku pikir tidak akan ada orang lagi yang akan menyemir sepatu karena hari sudah menjelang malam. Akhirnya aku putuskan untuk pulang.
Sesampainya dirumah, aku lihat nenek yang sedang tidur sambil merengek kesakitan. “Nek, nek ini ujang bawakan obat buat nenek” kata ku sambil membangunkan nenek. “Eh ujang, udah pulang kamu jang? Uang dari mana kamu beli obat buat nenek?” sahut nenek sambil batuk-batuk, “Tadi ada orang yang ngasih ujang uang, ujang juga beli nasi sama lauknya buat nenek” kataku sambil menyodorkan sebungkus plastic yang berisi nasi, lauk, dan air. “Terima kasih jang, tapi kamu udah makan belum?” kata nenek sambil batuk-batuk lebih parah dari tadi, “Sudah, tadi diluar. Sekarang nenek jangan terlalu banyak mikirin ujang, pikirin kesehatan nenek, gimana supaya bisa cepet sembuh” sahut saya sambil menyodorkan segelas air. Kemudian aku pergi dari tempat tidur nenek, lalu masuk ke kamarku. Aku jatuhkan tubuh ini ke kasur yang hampir roboh, kemudian aku merenungkan kata-kata laki-laki yang memberikan uang tadi. Sejenak aku berpikir “Iya, ya buat apa aku berdoa tiap malam, tapi Tuhan tidak mendengar doaku, apakah selama ini Tuhan mendengar doaku? Apakah Tuhan selama ini ada? Kalau ada, kenapa Dia tidak menjawab semua doa-doaku. Apakah aku harus seperti laki-laki itu?” Aku menangis, aku bingung tak tahu harus bagaimana lagi menjalankan hidup ini.
Aku bergegas dari tempat tidurku, lalu pergi kesebuah tempat yang sangat luas dimana dibawahnya terdapat jurang-jurang yang penuh dengan bebatuan yang tajam. Aku teriak dengan sekuat tenaga untuk melepaskan beban masalah yang menimpa hidup ini, “Aaaaaaaarrrrgggghhhhhhhhhhhhhhhhh, Tuhan apakah engkau ada selama ini? kalau memang ada, Dimana Engkau ini? Mengapa kau tak mendengar semua permintaanku? Tuhan, turunkan kekuasaan-Mu jika kau memang ada!” Aku terdiam sejenak sambil menangis. Beban ini rasanya sedikit berkurang setelah aku teriak. Alam tak menunjukan reaksi apa-apa setelah aku berteriak tadi. Angin malam mulai merasuki tubuh ini, aku menggigil kedinginan. Rasanya aku ingin mengakhiri hidup ini, mengkin dengan aku mati tidak akan ada beban yang selalu menghantui hidup ini. Tak lama kemudian aku berteriak lagi, “Tuhan, andai Engkau tidak meninggalkanku, mungkin aku tak akan seperti ini.” Akhirnya aku akhiri hidup ini dengan terjun ke jurang yang penuh dengan bebatuan yang tajam.
Komentar
Posting Komentar